Laman

Minggu, 28 Oktober 2012

Apa karena enggak 'mainstream'?

(Part 1)

"Fia setelah lulus mau ke mana?"
"Insya Allah mau S2."
"Nggak kerja?"
"Enggak Nanti saja."

Percakapan di atas sering mewarnai keseharianku akhir-akhir ini. Setelah lulus S1, langsung lanjut ke S2, bukannya kerja. Titik. Aku mau S2. Aku mau belajar. Aku belum mau kerja. Dan itu memang tidak bisa diganggu gugat. Kalaupun kerja, aku juga nggak mau kerja di perusahaan Jepang. Jadi, aku abaikan saja tawaran-tawaran kerja di perusahaan Jepang yang kece-kece (sumprit sombong banget ya guweh). Karena aku memang nggak mau kerja. Buat mereka yang mengenalku, pasti bisa mengerti. Tapi, buat yang tidak, mereka mungkin akan berpikir aku sombong, sotoy, sok pinter, dan blablabla.
Aku tidak menyalahkan mereka yang bekerja setelah lulus S1. Bekerja setelah lulus S1 itu baik. Sangat baik. Setidaknya, mereka sudah mapan dari segi ekonomi, life skill, dan soft skill. Tapi, yang membuatku tidak berminat, aku tidak tahan dengan persaingannya. Lihat saja, career days di UGM beberapa hari lalu. Haaaaaaaah.... Rame macam antrian semut. Itu, bisa saja membuktikan: lulusan S1 di negara ini sudah terlalu banyak. Seperti lulusan SMA. IPK di atas 3,5 mungkin sudah seperti siswa yang mempunyai rata-rata nilai 8 di ujian nasional. Jadi, career days di UGM beberapa hari lalu, hanya bisa kuamati dari FIB dengan tersenyum dan berkata dalam hati, "Selamat berjuang, semuanya.".
Di jurusanku, entah ini perasaanku atau emang kenyataannya begitu: lulus S1, rata-rata langsung memilih kerja. Dengan modal bisa ngoceh pakai bahasa Jepang, duuuuh.. perusahaan mana sih yang nggak kepincut. Apalagi kalau kamu punya sertifikat JLPT (TOEFL bahasa Jepang) level 2 dan sudah pernah ke Jepang. Jangankan ngelamar kerja, perusahaan-perusahaan sudah akan datang padamu dengan sendirinya. Mungkin kalau dihitung, lulusan S1 di jurusanku yang melanjutkan S2 itu, kalah banyak.
Tapi sayangnya (atau untungnya?), aku tidak termasuk di dalamnya.
Dosenku pun demikian. Entah sudah berapa kali beliau-beliau ini bertanya tentang rencanaku setelah lulus S1. Dan pertanyaannya pun sama: "Kenapa nggak bekerja saja?".
Ha-ha-ha-ha-ha.
Begitulah. Terserah kalian bagaimana memandang seorang lulusan S1. Apakah sebaiknya ia bekerja atau melanjutkan sekolah. Sebenarnya, kedua pilihan itu baik. Sama-sama baik. Dan yang pasti ada plus-minusnya. Sama halnya kalau kau perempuan, dan memilih bekerja atau menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Analogikan saja seperti itu. Karena bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, itu sama-sama baik dan mulia. Sekian.

--------------------------------------------------------------
 (Part 2)

Masih menyambung cerita di atas. Sebenarnya percakapan yang kutulis di awal postingan ini, tidak berhenti sampai di situ. Setelah aku menjawab, "Enggak. Bekerjanya nanti saja.". Pertanyaan yang selanjutnya terlontar adalah:
"Emang mau S2 di mana? Luar negeri"
Jangan dikira aku belum menentukan pilihan. Aku sudah menentukan kok. Dan lagi-lagi, pilihanku itu membuat orang-orang yang menanyaiku tercengang::
"Iya. Rencananya mau S2 di Jepang..."
Itu jawabanku. Dan mereka manggut-manggut. Ah, naruhodo. Yappari lulusan S1 Sastra Jepang sudah selayaknya sepantasnya dan seharusnya S2 di Jepang. Tapi bukan. Bukan itu yang membuat mereka tercengang karena sebenernya, jawabanku belum selesai:
"... atau kalau tidak ya di Brunei Darusalam."
Bisa kau bayangkan ekspresi mereka-mereka yang mendengar jawabanku? Dan mungkin saja kau yang membaca postingan ini?
Brunei Darusalam?
"Nggak salah, Fi?"
Rata-rata mereka berkomentar komentar seperti itu.
"Kenapa Brunei?"
Dan pastinya akan ada pertanyaan lagi, semacam itu. Orang-orang, terutama yang ada di jurusanku, mungkin sudah ter-mind set bahwa kuliah di luar negeri itu, ya di Jepang. Hebat sekali ya propagandanya. Atau, kalau orang-orang awam, terlebih yang sering nonton drama Korea, biasanya akan berpikir bahwa kuliah di luar negeri itu kalau nggak Jepang (ngeh), Korea (Selatan), Amerika, Eropah, Singapur, Ustrali, atau China lah ya.
Tapi kok ya bisa-bisanya Fia milih Brunei?
Brunei, Brunei, Brunei. Mungkin mereka hanya taunya Brunei itu negara kecil kaya di Pulau Kalimantan yang kalau tanding sepak bola dengan timnas Indonesia, selalu kalah. Tapi tak tahukah mereka kalau beasiswa pemerintah Brunei, yang ditawarkan ke mahasiswa asing, itu buanyaaaaaaaaaaaaak? Dan tak tahukah mereka kalau (menurut cerita) suasana di sana sangat kondusif untuk orang yang tidak suka keramaian seperti aku? Dan tak tahukah mereka kalau (katanya lagi) pemerintah setempat justru sedang punya misi mengajak mahasiswa-mahasiswa asing untuk kuliah di sana, layaknya Korea Selatan? Dan tak tahukah mereka kalau universitas yang kutuju itu tak kalah kecenya dengan UGM dan mungkin beberapa universitas di Jepang? Dan tak tahukah mereka, dosen-dosen asing itu sangat laku di sana? Dengan gaji sangat tinggi tentunya. Makanya, jangan anggap remeh, Bung, Nona!
Tapi memang benar, perkenalanku dengan beberapa mahasiswa Brunei dan dosen Brunei beberapa waktu lalu, berhasil membuatku berpikir: "Tak ada salahnya kuliah di sana". Toh aku punya kenalan di sana, yang sampai sekarang masih kontak-kontakan. Toh mungkin jika aku beneran kuliah di Brunei (semoga. Amiiiiin), jalanku untuk sekolah di Jepang justru lebih terbuka lebar. Deshoo? Orang itu harus punya plan A dan plan B dalam hidupnya. Hahahaha... Jangan stuck di satu mind-set saja. Dunia itu luas. Dunia itu nggak hanya Jepang. Nikmati saja, Kawan!
Meskipun demikian, aku masih berharap bisa S2 di Jepang. Karena ya memang itu bidangku. Akan lebih baik jika aku meneruskan kuliahku di sana, tentu saja. Karena rencanaku meneruskan riset skripsiku, memang sebaiknya kulakukan di Jepang.
Tapi Brunei Darusalam?
Nggak ada salahnya kok!

-----------------------------------------------------
(Part 3)

Cerita ini hampir serupa dengan ceritaku di part 2. Cerita ini, kualami ketika aku kelas XII SMA. Waktu itu, zaman-zaman krusial anak SMA tahun terakhir untuk menentukan pilihan jurusan di universitas. Ketika sebagian besar temanku sudah mendaftar dan diterima di universitas swasta, aku belum mendaftar di mana pun.
Aku mau kuliah di UGM! Apapun jurusannya, yang penting UGM! Aku nggak mau sekolah di swasta lagi! Mahal! Kasihan bapak-ibuk!
Itu aku ketika SMA. Karena sudah sedikit hopeless, masuk Sastra Jepang itu saingannya nggilani. Waktu itu, aku beruntung punya wali kelas yang sangaaaaaaaaaaaaaaaaaat perhatian sama aku. Beliau sangat pengertian dan berpikiran terbuka. Ya, waktu itu, teman-temanku sekelas memilih jurusan Akuntansi, Manajemen, Psikologi, Hubungan Internasional, Hukum, Komunikas, dan jurusan mainstream lainnya.
Aku?
Sastra Jepang. Pilihan pertama pula.
Hahaha.
Lucunya, perasaanku pada saat itu, kurasakan saat ini (baca lagi part 2 kalau belum ngerti). Hahaha... Wali kelasku sangat berjasa membantu kembalinya rasa percaya diriku saat itu. Dia berkata bahwa jurusan yang kupilih itu sangat bagus dan memang sangat sesuai dengan minatku. Jangan salah, banyak yang menyayangkan aku memilih Sastra Jepang. Mereka ingin aku kuliah di Akuntansi. Gara-garanya? Nilai pelajaran Ekonomi di raporku 90-an. -_________-".
Ketika aku diterima di Sastra Jepang UGM, orang-orang banyak yang memberiku selamat, tak terkecuali wali kelasku. Banyak yang bilang kalau pilhanku tepat, sesuai minatku, dan aku bangeeeeet. Hahaha..
Tapi, aku masih ingat. Ada satu guruku yang agak -_____________-" memandangku memilih Sastra Jepang. Mungkin dikiranye masuk Sastra Jepang UGM itu gampang dan ah biasalah yang semacam memandang kalau ilmu eksak itu yang paling kece sedunia.
"Alifia ketrima di mana?"
"UGM, Pak. Alhamdulillah."
"Jurusan apa?"
"Sastra Jepang." (dengan bangga dong)
"Oh. Rasah nggaya yo."
Haish. Sebel banget saat itu. Tapi tak apalah. Hahaha. Ketawain aja deh Beliau.

------------------------------------------------------
 (Epilog)

"... Because being not-mainstream is too mainstream."
Hahaha... Sekarang banyak ya orang yang nggak mau dikatain mainstream. Jujur, aku juga pernah seperti itu kok. Tapi, ketiga cerita di atas, itu sungguh bukan karena aku ingin melawan mainstream dan dibilang tampil beda. Ketiga cerita di atas, yang kususun dengan diksi acak-acakan itu, tanpa ada unsur kesengajaan. Kalau di istilah kece, namanya kebetulan. Tapi asik juga kok, meskipun kadang-kadang nyebelin juga karena nggak sedikit orang-orang yang mencibir pola pikirku yang kadang nyeleneh dari pola pikir mereka. Tapi selama yakin dan pede dan cuek, itu nggak masalah. 
Apalagi masalah fashion. Hahaha. Cerita lagi nih, padahal sudah masuk epilog (biarin ah. haha). Sekarang zamannya cewek-cewek berjilbab di Indonesia pada dandannya pakai pashmina njuk pakai cupit ninja trus digubet-gubetin gitu. Ya kan? Sebenernya aku kepingin bisa pakai jilbab kayak gitu. Tapi belum bisa. Trus setelah KKN, entah dapat ide dari mana, aku mengkombinasikan kerudung langsungan biasa sama topi rajut warna-warni. Hasilnya? Setiap aku melangkahkan kakiku di mana pun, semua mata tertuju padaku. Hahahahahahahahahahaha... Teman-temanku yang cewek-cewek bilang itu keren. Tapi teman-temanku yang cowok-cowok bilang, aku seperti Mbah Surip -_-. Dan mereka bertanya kenapa aku nggak pakai topi rajut ala rasta yang warna-warni itu. Aku bilang, kalau ada beneran, aku bakal pede pakai itu. Dan mereka pun hening seketika denger jawabanku. Hahaha.

Percaya deh selama kamu pede, yakin, dan cuek dengan ketidakmainstream-an mu --apapun itu-- kupikir sah-sah saja. Itulah keunikan manusia. Asal jangan hal-hal yang merusak moral, aqidah, dan akhlak saja. Hahaha..

Ngomong apa sih aku?

ja ne...

16 komentar:

  1. GUE SUKA GAYA LOHHHHH. MAJU TERUS PIAAAAAAAAH.... Sebagai orang yang dibesarkan di keluarga yang miscellaneous (menilik apa latar belakang om-tante-pakdhe-budhe kita fi), aku selalu dukung kamyu :3

    BalasHapus
  2. Mwahahaha... Makasih, Kakak... Dirimu juga berjuang terus eaaah :D

    BalasHapus
  3. Agak susah sih sekarang untuk menjadi non mainstreamer dari hati, bukan karena tuntutan pasar...:v

    BalasHapus
  4. halo kak..wah ceritanya bikin aku semangat masuk sastra ^^btw, mau ambil S2nya jurusan sastra jepang jugakah? kalo ambil jurusan lain bisa ngga si? hehe

    BalasHapus
  5. aduh makasih ya sudah baca postingan saya. iya dong. harus. Jurusan sastra itu keren. Kalau kerja nanti, nggak terpaku di satu bidang aja. Fleksibel. Hehehe. Kalau S2 ambil jurusan lain, bisa. Tapi kalau saya sih untuk 'aman'nya mau ambil yang linier alias sejalur :D

    BalasHapus
  6. Wah..ternyata ada juga yang berpikiran migrasi ke brunei. Kata dosen saya, karena terlalu sedikit penduduknya sampe-sampe pemerintahnya biayai penduduknya buat naik haji.weleh..weleh...
    Tapi saya suka opini mu yg "Because being not-mainstream is too mainstream",
    different is beautiful, dont you?


    BalasHapus
  7. kaaak, mau nanya nih. aku sekarang kelas 3 sma dan pengeeeen banget masuk sastra jepang ugm. cuman takut gak keterima nih kak. boleh nanya gak kak, kalau masuk sastra jepang ugm itu peluangnya gimana yah kak? saingannya banyak gak kak? terus kerjanya apa kak? soalnya orang tua pada gak setuju karena katanya prospek kerjanya gak bagus blabla. mohon bantuannya yah kaaak :)

    BalasHapus
  8. yeni-idea:
    Sastra Jepang UGM itu --katanya-- masuk ke daftar tinggi peminat dan saingannya lumayan banyak di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Saran saya sih kalau mau masuk di Sastra Jepang UGM, jadikan itu pilihan pertama dan pilihan-pilihan selanjutnya juga bisa dipilih dari jurusan di Fakultas Ilmu Budaya. Menarik-menarik dan asik2 lho jurusannya ^^. Wah untuk prospek kerjanya itu buanyaaaaaak banget. Justru malah termasuk gampang dapat kerja habis lulus dari Sastra Jepang. Macem2: bisa jadi penerjemah bahasa Jepang, dosen, kerja di perusahaan Jepang yang ada di Indonesia (jangan salah, gaji kerja di sana lumayan tinggi dan perusahaan Jepang yang ada di Indonesia itu juga banyak), kerja di kedutaan besar/konsulat jenderal Indonesia di Jepang atau kedutaan besar/konsulat jenderal Jepang di Indonesia, kerja di departemen luar negeri, kerja di bank, di hotel, wiraswasta. macem2. justru peluang kerjanya lebih banyak dan lebih fleksibel. dan malah bisa habis lulus, langsung dapet kerjaan. Temen2 saya banyak yang begitu soalnya. Semangat!

    BalasHapus
  9. kak, aku pengen masuk sastra Jepang UGM (udah mantep banget). tapi ortu mintanya besok pilihan pertama psikologi dulu baru sastra, soalnya ortuku agak gimana gitu kalo sastra. kira-kira bisa masuk yang sastranya gak ya. makasih ya kak ^^

    BalasHapus
  10. Arigatou, aku jadi termotivasi masuk sastra Jepang UGM nih kak :) walau aku di SMA jurusannya bukan bahasa.

    BalasHapus
  11. hai kak, ceritanya ispiratif banget. aku sekarang lagi di masa krusial jga nih. Tapi insya'allah dah yakin mau ambil sastra korea. Doain ya, salam kenal ^.^

    BalasHapus
  12. halo kak, baca post'nya kakak pikiran saya jadi kemana-kemana, hehehe, khususnya memandang "lulusan sastra jepang" itu kaya apa sih, sudut pandang yang menarik, sy juga berpikir demikian untuk mencoba hal yang anti-mainstream kayak ngajar bahasa jepang di papua misalnya, hahaa, soalnya disana masih jarang (kata teman papuan sy), oiya kebetulan sy mahasiswa sastra jepang dr undip, saat ini masih semester 4, 4649 :D

    BalasHapus
  13. Wahh udh bnyk baca postingan org ttg sastra Jepang, trnyata semuanya pd blg kalau prospek kerjanya luas XD
    Pingin sih, dr duluu.. mau masuk sastra Jepang, tp gk d bolehin sama orangtua, malah d suruh masuk kedokteran/akmil ... ya twlah.. mereka blg ntr susah cari kerja, dn saya yg wktu itu gk tw apa2 ya nelen habis, jd gk berkutik, gk bs bles omongannya, dan sakitnya itu disini (?) :'3
    tp ini beneran kak, ntr mudah dpt kerjanya? Soalnya saya pingin ngeyakinin orgtua saya, supaya saya d bolehin msk sastra jepang :'D
    tp ragu bs masuk PTN fav, soalnya saya ipa, kan kemungkinan masuknya jd tambah kecil apalagi kalau nilainya kalah saing sm yg jurusan ips, pdhl dlu pinginnya masuk ips, tp gk d bolehin :''D
    tolong kak jwb pertanyaan saya, supaya saya mantap utk ngeyakinin orgtua saya supaya d bolehin msk sastra jepang :'v
    *curcol #plok :'v

    BalasHapus
  14. Cerita yang sedang ku alami (banget)
    tapi baru mau daftar snmptn dan aku beda sendiri kak, karena kata ortuku aku harus milih sesuai kesukaanku jadi aku pilih sastra jepang ugm. arigatou ceritanya ya kak aku jadi ngga drop lagi dikatain ini itu (2 thumbs up)

    BalasHapus
  15. terima kasih tulisannya sudah memberikan saya inspirasi dan tujuan yang lebih matang lagi ke depannya:) arigatou nee-san!

    BalasHapus
  16. OMG!!!! Terharu aku bacanyaaaa! Sukses terus ya kak buat mimpi2nya. Impian aku kuliah sastra jepang dari sd. Kmrn snm ga keterima, doakan sbm ini keterima ya kak :)))

    BalasHapus